Oleh: Akhmad Rifai
(Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Kaprodi PTI Institut Pangeran Dharma Kusuma)
Perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia tahun ini menampilkan realitas komunikasi yang memerlukan perenungan mendalam. Di berbagai pelosok, bendera bajak laut One Piece terlihat berkibar di tengah seremoni resmi. Sebagian publik menilainya sebagai tindakan tidak pantas, namun bagi generasi muda, aksi itu adalah bentuk penegasan jati diri dalam memaknai kemerdekaan.
Dari perspektif Ilmu Komunikasi Simbolik, fenomena ini bukan sekadar soal pelanggaran tata upacara. Ia mencerminkan proses negosiasi makna (meaning negotiation) yang gagal dijembatani oleh negara. Di sinilah kita menyaksikan pergeseran tafsir simbol, dari makna tunggal menjadi makna yang dinegosiasikan ulang di ruang publik yang lebih terbuka.
Simbol Adalah Hasil Interaksi Sosial
Dalam kerangka Symbolic Interactionism (Blumer, 1969), simbol tidak memiliki makna absolut yang melekat pada dirinya. Makna hadir melalui proses interaksi sosial yang dinamis, di mana setiap individu dan kelompok memberi tafsir berdasarkan pengalaman dan realitas yang mereka alami.
Bagi negara, bendera Merah Putih adalah lambang kemerdekaan yang diwariskan dari perjuangan panjang. Namun, bagi Generasi Z, yang hidup di tengah kesenjangan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan keterbatasan ruang ekspresi, makna kemerdekaan meluas menjadi perjuangan sehari-hari untuk memperoleh hak yang seharusnya sudah menjadi keniscayaan.
Dalam konteks tersebut, bendera One Piece menjadi lebih dari sekadar ikon budaya pop. Ia dihidupkan sebagai simbol alternatif kebebasan, solidaritas, dan perlawanan yang dirasa lebih otentik mewakili kegelisahan mereka dibanding simbol resmi negara yang kian dirasa jauh dari kenyataan.
Kegagalan Komunikasi Simbolik Negara
Fenomena ini adalah cermin dari kesenjangan komunikasi simbolik antara negara dan rakyat. Negara masih memegang paradigma komunikasi monologis, di mana simbol dianggap memiliki makna tunggal dan mutlak. Padahal, dalam realitas sosial yang dinamis, simbol justru menuntut proses negosiasi makna yang inklusif dan partisipatif.
Data Indonesia Gen-Z Report 2024 memperlihatkan bahwa 51% Generasi Z menilai keadilan sosial sebagai persoalan utama, namun hanya 28% yang merasa perayaan kemerdekaan relevan dengan semangat zaman. Ini adalah indikator kuat bahwa simbol-simbol resmi telah mengalami degradasi makna (semiotic erosion) di mata generasi muda.
Ketiadaan ruang dialog untuk membahas ulang makna kemerdekaan mendorong munculnya simbol-simbol tandingan sebagai bentuk kritik. Fenomena bendera One Piece bukanlah bentuk anarkisme visual, melainkan komunikasi simbolik resistensi terhadap narasi tunggal yang dinilai tidak akomodatif.
Ruang Publik Baru: Negosiasi Simbol di Era Digital
Di era digital, simbol tidak lagi didefinisikan oleh otoritas tunggal. Media sosial menjadi arena baru di mana simbol-simbol alternatif memperoleh legitimasi makna secara organik. Generasi muda memanfaatkan ruang ini untuk membangun tafsir kolektif yang merepresentasikan pengalaman dan aspirasi mereka.
Bendera One Piece yang dikibarkan di upacara kemerdekaan adalah bentuk counter-symbol—simbol tandingan terhadap narasi formal negara. Bagi generasi muda, simbol bajak laut ini lebih relevan sebagai representasi perjuangan keseharian mereka dibanding simbol formal yang dianggap semakin kehilangan daya hidup.
Negara Harus Membuka Negosiasi Makna
Negara tidak bisa lagi mempertahankan pola komunikasi simbolik yang bersifat satu arah. Di era partisipasi digital, simbol harus dipahami sebagai entitas yang hidup dan dinegosiasikan secara dinamis dengan publik.
Negara perlu bergeser dari paradigma symbolic dissemination menjadi symbolic co-creation, di mana proses penciptaan makna dilakukan bersama rakyat. Kemerdekaan sejati tidak bisa dimonopoli oleh narasi resmi, tetapi harus terus dirawat melalui interaksi makna yang setara dan reflektif.
Kemerdekaan Bukan Milik Simbol, Melainkan Milik Makna
Fenomena bendera One Piece di tengah perayaan kemerdekaan adalah sinyal kuat bahwa makna kemerdekaan di mata rakyat, khususnya generasi muda, tengah mengalami disonansi tajam. Negara tidak boleh terpaku pada bentuk simbol semata, melainkan harus mampu membaca ulang proses negosiasi makna yang hidup dalam masyarakat.
Karena kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang dirasakan, dimaknai, dan diperjuangkan bersama.
