Jakarta, 6 Agustus 2025 — Di tengah tantangan akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat, Kantor Komunikasi Kepresidenan melalui Public Communication Office (PCO) bersama relawan Gatot Kaca Prabowo-Gibran kembali menghadirkan ruang diskusi publik bertajuk “Berani Bicara #3”. Acara yang digelar di Pattimura 11, Sekretariat Nasional Gatot Kaca, Kebayoran, Jakarta ini mengangkat tema “Rumah untuk Semua: Strategi Pemerintah Mempercepat Akses Hunian Layak” dan menjadi forum dinamis untuk menyambung lidah rakyat kepada pemerintah.
Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama yang mewakili tiga sektor penting: pemerintah, pengembang properti, dan komunikasi strategis. Mereka adalah Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Dedek Prayudi, Tenaga Ahli Utama PCO, dan Paulus Totok Lusida, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) periode 2019–2023. Diskusi dipandu oleh Cep Deni, Tenaga Ahli PCO, yang menjaga jalannya forum tetap fokus dan konstruktif.
Dalam pembukaannya, Dedek Prayudi menekankan pentingnya membangun narasi pembangunan yang menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. “Rumah bukan sekadar bata dan semen, tetapi simbol harga diri dan peradaban. Uang rakyat harus kembali kepada rakyat dalam bentuk kebijakan yang bermakna,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa program pemerintah sudah berjalan baik, namun komunikasi dan akuntabilitas harus terus diperkuat agar pembangunan dapat dirasakan secara merata.
Sementara itu, Fahri Hamzah memaparkan visi besar pemerintah dalam program 3 Juta Rumah, yang mencakup pembangunan dan renovasi di wilayah perkotaan, perdesaan, dan pesisir. Ia menyebut bahwa pendekatan wilayah menjadi sangat penting agar strategi kebijakan sesuai dengan karakter lokal. “Suatu hari seluruh wilayah pesisir Indonesia bisa seperti Maldives. Kita punya potensi 13.000 kawasan pesisir, dan kita akan mulai menata 1.300 kawasan setiap tahun mulai 2026,” ungkapnya dengan optimisme.
Lebih jauh, Fahri menjelaskan bahwa kawasan perdesaan akan difokuskan pada renovasi rumah-rumah yang sudah berdiri karena umumnya masyarakat sudah memiliki lahan. Ini menjadi peluang emas bagi pelaku industri konstruksi lokal. “Ini kabar baik untuk mereka yang punya usaha bata, besi, kayu. Dalam 5–10 tahun ke depan, permintaan bahan bangunan akan meningkat. Ini saat yang tepat untuk membuka pabrik di Indonesia,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya pengembangan hunian vertikal di perkotaan melalui skema subsidi dan pemberian lahan gratis. Menurutnya, pembangunan rumah susun akan menjadi solusi untuk keterbatasan lahan di kota besar. “Proyeksi kebutuhan pembiayaan perumahan kita mencapai Rp 30 triliun per tahun, namun sektor ini mampu menggerakkan 185 sektor industri lainnya. Ini bukan hanya soal rumah, tapi pengungkit ekonomi nasional,” ujar Fahri.
Dari sisi dunia usaha, Paulus Totok Lusida menyampaikan kesiapan sektor swasta untuk berkolaborasi dengan pemerintah. Namun ia menggarisbawahi bahwa kerja sama hanya akan efektif jika didukung oleh kepastian kebijakan, kejelasan status lahan, serta percepatan proses administrasi. “Pengembang itu siap membangun, tapi jangan biarkan birokrasi membunuh semangat kami,” tegasnya.
Diskusi berlangsung interaktif dengan kehadiran berbagai elemen masyarakat: mahasiswa, aktivis perumahan, penggiat komunitas urban, hingga warga dari kalangan bawah yang menyampaikan langsung kesulitan mereka dalam mengakses rumah layak. Suasana forum menjadi sangat hidup, bukan hanya karena narasumber yang kuat, tetapi juga karena aspirasi yang nyata dari para peserta.
Ketua Umum Gatot Kaca Prabowo-Gibran, Indra Simarta, menyampaikan bahwa diskusi semacam ini adalah bagian dari komitmen relawan untuk mengawal kebijakan pemerintah dari sisi rakyat. “Kami hadir bukan untuk memuji-muji, tapi untuk memastikan bahwa rakyat tidak tertinggal,” katanya dalam sela-sela acara.
Penegasan kuat juga datang dari Sinar Shinta, Sekretaris Jenderal Gatot Kaca Prabowo-Gibran, yang menyatakan bahwa rumah adalah hak rakyat, bukan mimpi yang dijual mahal oleh pasar. “Kami tidak akan diam. Kami akan menjadi mata dan telinga rakyat. Karena rumah bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat pulang yang harus dijamin oleh negara,” serunya, disambut tepuk tangan meriah peserta.
Acara Berani Bicara #3 tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga ruang koreksi, partisipasi, dan penyulut aksi. Forum ini memperlihatkan bahwa komunikasi dua arah antara rakyat dan pemerintah sangat mungkin diwujudkan—selama ada niat untuk mendengar dan keberanian untuk menjawab.
Pattimura 11 sore itu menjadi saksi bahwa rakyat tidak kekurangan ide dan semangat, mereka hanya menunggu ruang untuk bersuara. Forum seperti ini membuktikan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal partisipasi berkelanjutan dalam kebijakan publik. Berani Bicara akan terus hadir, membawa isu-isu fundamental rakyat ke atas panggung utama, memastikan bahwa suara kecil pun punya gaung yang besar.
