Jakarta, 3 Juli 2025 – Persidangan skandal judi online (judol) di lingkungan eks Kementerian Kominfo (kini Komdigi) kembali memanas. Tiga mantan pegawai kementerian, masing-masing berinisial YPS, FD, dan YRS, mengakui di hadapan majelis hakim bahwa mereka menerima aliran dana haram dari operator situs judol.
Ketiganya—yang dikenal sebagai “tiga serangkai”—berperan dalam memanipulasi sistem pemblokiran situs di kementerian agar situs judol tetap bisa diakses publik. Uang miliaran rupiah pun mengalir ke rekening pribadi mereka dalam kurun 2023 hingga awal 2024.
YPS, dalam keterangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengaku menerima Rp 4,8 miliar dari aktivitas beking situs judol. Dari jumlah tersebut, Rp 4,6 miliar ia gunakan untuk “membungkam” rekannya berinisial RE, yang mengetahui praktik ilegal itu.
“Beberapa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian besar saya serahkan ke Saudara R.E. agar tidak menyebarkan informasi ini,” ujar YPS di ruang sidang, Rabu (2/7/2025).
Sementara itu, FD mengaku mengantongi Rp 12 miliar dari perannya melindungi situs-situs ilegal. Ia mengaku membelikan kendaraan, memenuhi kebutuhan pribadi, serta menyerahkan Rp 7 miliar kepada R.E. untuk alasan serupa.
YRS, terdakwa ketiga, juga menyatakan menerima Rp 4,9 miliar, dan dari jumlah tersebut sekitar Rp 4,7 miliar ia berikan kepada R.E. sebagai bentuk “biaya tutup mulut”.
Ketiga terdakwa berada dalam klaster kedua dari empat klaster besar kasus ini. Klaster lainnya terdiri dari koordinator teknis, agen situs, serta pihak penampung uang hasil kejahatan digital (TPPU). Inisial R.E., yang diduga menjadi titik simpul “pengendali diam-diam”, disebut menerima uang dalam jumlah besar dari hampir semua pihak yang terlibat.
Jaksa menjerat para terdakwa dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana maksimal.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam pemberantasan kejahatan digital di instansi negara. Skandal bekingan situs judol ini tidak hanya mencoreng reputasi Kementerian Kominfo yang seharusnya menjadi benteng keamanan ruang digital, tetapi juga membuka borok tata kelola integritas dan pengawasan internal.
Publik kini menanti: sejauh mana praktik bekingan ini telah membusuk dalam sistem? Dan siapa lagi yang akan terseret?